Sundukan

Nampaknya bangun lebih awal membuat perutku sering merasa lapar. Karena aku bangun lebih awal jam makan siangku tidak pernah lebih dari jam 1 siang. Tak seperti sebelumnya, aku bisa memundurkan waktu makan siang lebih dari jam 2 siang. Ditambah sekarang aku harus berjalan kaki beberapa puluh meter untuk mencari angkutan umum.

Aku menemukan warung “hik” atau wedangan di perjalanan pulang. Tepatnya sebelum pertigaan tempatku menunggu mikrolet arah stasiun kereta.

Tanpa pikir panjang aku menghampiri wedangan itu sembari membawa perut yang sudah melintir.

“Minumnya apa mas?” Tanya si empunya warung. “Es teh mawon mas!” Jawabku sambil mengambil piring untuk tatakan nasi bungkus berkaret khas wedangan.

Kuambil sate ati ampela sebagai teman nasi teri. Tak puas dengan sebungkus nasi teri, aku membuka lagi nasi bungkus oseng tempe. Kali ini kupilih sate telur puyuh dan tahu bacem untuk menemani nasi oseng tempe.

Setelah makan, kusulut rokok dan menikmatinya dengan es teh manis sambil berbincang dengan si mas pemilik warung. Tentu saja obrolanku dengannya menggunakan bahasa Jawa ngoko alus karena dia berasal dari Jogja. Boleh dibilang aku dan si mas Agus masih satu trah. Trah Mataram! 😀

“Sampun mas. Nasi kaleh, sundukane kaleh, bacem setunggal, es teh.”

“Sudah mas. Nasinya dua, satenya dua, bacemnya satu, es teh”

“Rolas ewu, mas.”

“Dua belas ribu, mas”

“Niki artone, pas. Maturnuwun…” Ujarku sambil membayar total makanan yang kutandaskan.

“Ini uangnya, pas. Terimakasih”

Setelahnya aku bergegas menyetop mikrolet lalu ke stasiun

Wedangan Meruya, Jakarta Barat

Apakah makanannya tidak menarik? Terkesan kotor karena dibiarkan terbuka?

Bagiku, hijienis adalah hanya milik orang kota saja. Tak berlaku bagi orang sepertiku, orang Jawa. Dan sekarang, rasa kangenku dengan wedangan akhirnya sudah tunai kubalas.

Selamat hari Senin. Gimana? Capek? Hihihi

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *