Perkara merelakan. Susah dijalani tapi sangat mudah diucapkan. Tepat di tanggal 1 November 2015, aku meninggalkan kota yang ayem tentrem ini. Mungkin ini kunjungan terakhirku di tahun 2015. Sore yang kekuningan melepasku dari tanah Solo.
Aku harus merelakan sebuah rumah dengan sejuta kenangan di dalamnya. Rumah yang telah kutempati 23 tahun lamanya. Perihnya rasa sudah tak terperikan lagi ketika aku berlalu menuju bandara. Aku harus menyiapkan nyaliku untuk menuliskan dan mem-backup semua foto-fotoku ketika di Solo.
Lalu kemarin malam, Jakarta diguyur hujan. Hujan pertama di bulan November. Sambil ngeteh aku mencoba membuat tulisan untuk kumuat di sini, namun aku harus berulang kali menggantinya! Aku tidak mau membuat tulisan yang terlalu “getir” seperti tulisan-tulisanku sebelumnya.
Alasannya? Aku tak cukup bernyali jika beberapa bulan ke depan membaca ulang tulisanku lagi. haha.
Aku kemudian tersadar, hujan pertama di bulan November ternyata bukan kemarin malam! Hujan itu sudah menetes di sore hari 1 November. Namun lagu dari grup rock Guns N’ Roses, November Rain, menguatkanku. Aku mengamini beberapa bait lirik lagunya:
And when your fears subside
And shadows still remain
I know that you can love me
When there’s no one left to blame
So never mind the darkness
We still can find a way
‘Cause nothin’ lasts forever
Even cold November rain
***
Selamat tinggal Solo. Selamat tinggal pagimu yang sejuk dengan kicauan burung yang bersahutan dengan riang. Selamat tinggal air tanahmu yang bening dan tanpa bau, air yang melegakan dahaga di terik siangnya kota yang semakin panas, air yang membasuh badan dengan kesegarannya setelah seharian memeras keringat.
Baca juga:
-
Manusia: Lahir, Sekolah, Bekerja dan Mati – Sebuah Catatan
-
1000 Hari
-
Sesulit apa mendapat pekerjaan di Jakarta?
Selamat tinggal makananmu yang selalu enak! Bagiku, makanan Solo adalah dalam kategori enak dan enak banget! Berbeda dengan Jakarta: “nggak enak dan nggak enak sama sekali!”
Selamat tinggal keramahtamahan kota dan orangmu. Menyapa dan bersosialisasi dengan bahasa Jawa halus itu wujud memanusiakan manusia. Gojeg kéré bagiku adalah manifestasi dari kedekatan kita dalam sesama makhluk sosial, semua setara, tiada beda!
Selamat tinggal teh melati khasmu. Teman ngobrol yang asik, teman dimana badan sedang masuk angin, teman dikala aku sebagai manusia yang sedang melakukan refleksi saat senja mengintip dari arah barat.
Selamat tinggal langit biru. Langit yang selalu indah. Tak seindah langit Jakarta yang selalu pasi. Membosankan.
Selamat tinggal masa kecilku. Tanah tempatku membumi dengan teman-temanku. Sawah yang terhampar luas, petak-petaknya adalah playground-ku bertumbuh dan berkembang. Banyaknya pohon yang bisa kupanjat adalah tempatku mengatasi rasa takut. Pekarangan rumahku dan rumah temanku tempatku bermain gundu, sederhana, bahkan aku bisa mengembangkan senyumku tanpa sepeser uangpun di sakuku!
Terima kasih Solo! Walaupun kini aku harus terpisah, namun kupastikan aku akan selalu kembali pulang. Bagiku, metropolitan bukan sanctuary. Tak ada secuilpun rasa banggaku ketika bisa berucap lu-gue dengan fasih. Ibukota tak kujadikan barometer kehidupan. Aku akan tetap melangkah dengan cara orang Solo. Tetap lugu dan akan tetap medok. Ketika aku mengumpat, umpatanku bukan “anjinggg!” tapi “asuuu iii angel tenan!”
Aku akan selalu mengutuki Jakarta dengan isu klasik ruwet kotanya. Dan aku akan selalu menjunjung setinggi langit biru kotaku dibesarkan. Solo! Karena bagiku, Jakarta terlalu banyak orang korup, korup kemanusiaannya. Akhlaknya di jalan berangasan, tidak sabaran, selalu ingin diakui jati dirinya sebagai orang ibukota dengan semua kemewahan yang dipunya.
Akupun membuktikan, orang Jakarta banyak omong kosong! Yang bisa berkarya adalah rata-rata orang daerah dengan kepintarannya yang samar-samar mampu bertahan di kerasnya industri. Bahkan ketika sukses, mereka tetap tak terlihat. Tetap asor, tetap bisa menghargai dan tidak jumawa.
Rupanya aku sudah terlalu sentimentil. Maka dari itu, kusudahi dulu tulisan ini.
Aku sudah berkemas, kenangan dan ajaran soal cara berbudi sudah kubungkus rapi. Hingga nanti, jika diberi ijin Tuhan, aku akan kembali ke sini. Entah dalam keadaan hidup atau mati.
Maturnuwun, Solo.
Aku pamit!
Ayo wedangan neng Jakarta, Ndre… Menciptakan suasana “Solo” di Jakarta pasti bisa…. Saatnya move on walo sedikit terpaksa…
siyap, kak Hen~ 🙂
lah, nggak ngabari kalo ke Solo…
btw, semoga lancar semuanya di Ibukota bro
hehe.. nyrepek banget waktune 😀
suwun, ya, San
Modaaarrr, teko maneh saingan anyar.
semangat mas andre….merantau untuk masa depan yang lebih baik.
Masa depan boleh dimana saja tapi sebaik-baiknya tempat kembali adalah rumah sendiri(kampung halaman).hehehee….
teh melati dan angkringan!
aselik kangen dua hal itu hahahaa.
selain rumah Eyang yang ada pohon jambu tempat aku memanjat serta sawah-sawah dan penggilingan beras yang ada di dekat komplek rumah Eyang.
kalo balik ke solo, ajak-ajak yooo 😀
Kejadian berbalik dengan aku… kini Solo sering aku sambangi sebagai pelipur lara hati