Dulu, tiap akhir bulan saya membeli 1-2 kaset pita, selama SMP-SMA. Sampai punya rak khusus untuk kaset. Kebiasaan mendengar kaset adalah tidak melakukan re-wind atau forward. Kenapa? Karena pita kaset bisa rusak, nglokor kalau orang Jawa bilang. Walaupun kaset itu akan tidak bisa prima lagi setelah dimakan usia. Atau faktor pemutar (tape) yang mungkin head-nya kurang bagus.
Karena kebiasaan itulah, saya menjadi penikmat album. 1 album dalam side-A side-B akan saya dengarkan seluruhnya sampai pita kaset warna putih terlihat di sisi kaset yang terbuka. Disetel berkali-kali sampai hafal betul setiap lagu dalam album tersebut. Apalagi tersedia lirik dalam cover kasetnya.
Sekarang? Saya adalah penikmat single. Sejak era MP3 tepatnya, dimana tidak susah untuk dapat mengunduh lalu memutar single yang sedang hits. Satu lagu bisa diulang-ulang dengan hanya memilih mode repeat. Mau ke lain lagu tinggal double-click judul dan langsung bisa didengar. Merdeka sekali, bukan?
Untuk CD, saya selektif dalam membeli. Saya hanya membeli CD kompilasi atau the bestnya saja. Kenapa? Waktu itu harga CD tidak bersahabat dengan kantong saya! 😀
Beberapa bulan yang lalu, saya bosan sekali dengan playlist yang ada di iTunes. Untuk mengunduh single lalu menyimpannya di folder Music dan memasukannya ke playlist juga enggan.
Mencoba streaming musik yang menyediakan library musik yang banyak adalah jalan keluarnya. Menikmatinya sama saja, pilih lagu lalu dengarkan. Tidak suka? Tinggal mencari, ketemu dan seketika itu bisa didengarkan. Saya tidak perlu lagi menimbun satu per satu single di dalam hardisk lagi.
KURASI
Oke! Saya menemukan Deezer dan Guvera. Sama-sama oke! Namun saya memilih untuk berlangganan Guvera. Saya berlangganan bukan untuk menunjukan saya ikut peduli dengan isu pembajakan lagu. Saya hanya mau membayar layanan ini semata-mata untuk menikmati musik dengan lebih simple. Karena saya bekerja seharian di depan laptop dan terkoneksi internet, maka makin bulat tekad saya untuk berlangganan layanan streaming musik ini.
Saya menikmati proses kurasi di dalamnya. Membuat playlist dan memberinya deskripsi sekenanya. Karena menawarkan layanan sosial, saya bisa membagi playlist saya ke pengguna lainnya. Lumayan mengasyikan. Kurasi yang bisa dibagi ini bagi saya menarik karena belum tentu playlist itu berisi lagu-lagu yang asyik. Dipengaruhi beberapa hal sih. Penentuan tema playlist, mau ambil rentang waktu, menurut genre atau komposisi penyanyi band yang ada di dalamnya.
Pada akhirnya semua mengikuti tren, musisi sekarang biasanya membuat 1 album dan 1 single lalu hilang. Paling-paling bertahan sampai 3 album saja. Ironinya, jika ada 10 lagu dalam album, kenapa cuma 1 saja yang hits? hmmm… Dan nyatanya, lagu mereka yang bukan single biasanya memang tidak terlalu bagus.
“Kan bagusnya karena tiap hari dipromote di radio?”, saya kok sudah tidak percaya dengan teori ini ya? Kalau jelek (atau tidak menuruti selera saya) walaupun disetel berkali-kali ya tetap saja saya tidak tertarik. Jadi hafal lagu itu, iya. Tapi saya tidak akan mengikutinya. Lagian, akhir-akhir ini radio itu kebanyakan memutar hits (lagu yang sudah jadi hits maksudnya) daripada sebagai tempat musisisi mempromosikan musiknya. Atau mungkin saya salah?
Ya lebih baik jadi penikmat single saja to? 😀