Dan pada saat yang sama, aku perlu struktur dalam hidup – bingkai untuk desain-desainku, tenggat waktu untuk baris-baris kodeku harus diselesaikan. Jika tidak, satu-satunya hal yang pernah kulakukan adalah bermimpi.
Sampai saat ini, aku masih bergulat dengan aturan-aturan yang nyatanya di dunia ini telah banyak sekali aturan dibuat. Aku ingin disiplin tanpa menjadi kaku. Fokus tapi tak boleh stagnan. Untuk hidup terstruktur tanpa diperintah aturan ini itu. Ini adalah permenunganku tentang kebebasan dan berkarya yang berputar-putar di otakku beberapa minggu terakhir.
Namun pada akhirnya, aku telah belajar bahwa aturan memiliki tempat dalam hidup kita. Tanpa disiplin, karya terbaikku mungkin tak kan pernah nampak. Hmm… Kreativitas dan aturan itu seperti paradoks, ya? Well, aku telah mempelajari empat pelajaran tentang paradoks kreativitas.
Disiplin adalah sekutu artis. “The War of Art” dan hampir setiap penulis memoar yang pernah kubaca mengajarkanku pelajaran: “kreativitas harus dimanfaatkan”. Tapi disiplin tanpa gairah hanya menjadi hafalan “rule-keeping” semata.
Mengikuti aturan tidak sama dengan disiplin. Aturan merupakan sarana untuk mendisiplinkan. Mereka adalah salah satu alat untuk penciptaan. (aku cukup sulit menjabarkan point ini… hehe)
Aturan yang tidak selalu buruk. Mereka pedoman yang membantu kita mencapai tujuan tertentu. Dalam beberapa kasus, mereka menjagaku untuk melakukan hal-hal yang benar-benar bodoh. Tapi “aturan” berhenti untuk jika tujuannya adalah untuk tameng atau pelindung-diri, sebuah alibi.
Ada satu titik ketika aturan harus dipatahkan. Bila aku menemukan diriku merasa nyaman, aku harus “mengganggu” rutinitas kenyamananku dan melanggar “status quo” yang telah kubuat atau telah ada sebelumnya. Bukan bermaksud menyulitkan diri sendiri, tapi aku suka merasa bosan dengan menjalani hidup yang berulang ritmenya. Terkadang aku mengganggu jam bangunku yang siang itu menjadi lebih pagi untuk beberapa hari. Kemudian aku hanya berjalan-jalan di sekitar kompleks atau mengejutkan perutku dengan gelontoran bubur ayam hangat yang biasanya tak pernah diterima organ pencernaanku. Dengan melihat gerobak si penjual bubur ayam itu tadi, interaksi antara penjual dan pembeli tak jarang memberikanku ide atau permenungan baru yang biasanya kutuangkan dalam tulisan atau sketsa. Dalam pekerjaan sehari-hari, aku cukup vokal untuk berani berpendapat selama aku menguasai bidang tersebut. Lagi-lagi, aku terkadang tak menghiraukan semua jargon-jargon yang ada sebelumnya. Ada anggapan bahwa aku cukup radikal. Tapi hal itu tak begitu kuhiraukan, yang penting pekerjaan dan caraku bisa dipertanggungjawabkan. Itu sudah.
Pada beberapa titik dalam hidup setiap artis yang kubaca, aku melihat bagaimana aturan harus patah dan perlawanan agar seni bisa dipertahankan.
Picasso saat ia bergerak dari realisme ke kubisme.
Jazz di abad ke-20, dilanjutkan dengan semakin banyak musisi merasa puas dengan keterbatasan musik populer.
Faulkner yang sengaja melanggar aturan sintaks untuk membuat titik.
Ini adalah paradoks dari setiap disiplin kreatif. Aturan-aturan yang membentuk kerangka untuk berekspresi dapat menjadi penjara dimana aku harus melarikan diri.
Aku tidak bisa menganggap remeh tentang aturan. Tetapi jika aku akan membuat pekerjaan yang berarti, pada titik tertentu aku harus melanggar aturan. Nobody ever left a legacy by maintaining the status quo.
Dan pada saat yang sama, aku perlu struktur dalam hidup – bingkai untuk desain-desainku, tenggat waktu untuk baris-baris kodeku harus diselesaikan. Jika tidak, satu-satunya hal yang pernah kulakukan adalah bermimpi.
Aku sedang mencoba untuk mengatakan: “Pada akhirnya, seni mengalahkan disiplin.” Aturan dapat memandu dan memberikan struktur serta mengarahkan, tapi jangan heran jika proses penciptaan karya masih mengerikan, berdarah-berdarah. Dalam mencipta, aku sering masih merasakan perasaan antara: kesulitan, ingin menyerah dan banyak perasaan yang cukup membingungkan.
Tapi ketika sudah selesai, aku akan memiliki sesuatu yang indah dan hidup. Dan mudah-mudahan aku akan dapat mengatakan, “Itu layak.”
Terakhir,
How do you use discipline to create — without becoming a slave to the rules? 😀