3 bulan sudah menetap di ibukota sebagai buruh. Kota yang identik dengan Monas, TMII dan teater Keong Emas. Setidaknya bagi saya. Tahun 1995, saya ingat betul pertama kalinya ke Jakarta. Perjalanan semalaman dengan menggunakan bus malam kelas “Super Top” dari PO. Raya selalu menyenangkan bagi bocah yang baru saja lulus Taman Kanak-Kanak. Tissue basah berlabel nama bus, minuman bersoda dan duduk di samping jedela bus selalu menjadi ekspektasi tersendiri ketika kakek saya mengajak saya membeli tiket bus kurang lebih 2 minggu sebelum perjalanan.
Saya selalu menikmati suasana di dalam bus yang sepi setelah berhenti santap malam di daerah Weleri. Seperti biasanya, setelah perut terisi para penumpang lainnya termasuk kakek saya terlelap dalam sisa perjalanan. Sambil melihat papas-salip antar armada pengguna jalan, saya juga menikmati lampu jalan dan kobaran api dari kilang minyak yang sesekali terilhat di jalur pantura dari jendela. Inilah alasan kenapa memilih tempat duduk di dekat jendela. Ya, dan saya selalu terjaga menikmatinya.
Sesampainya di ibukota, saya dipuaskan dengan berbagai wahana yang ditawarkan oleh tempat dimana saya mengidentikan Jakarta di awal. Ah iya, saya lupa menuliskan satu tempat, Dunia Fantasi. Tangan saya yang kecil ini selalu menggenggam erat beberapa karcis masuk wahana sesuai paket yang diambil di pintu loket.
Kakek saya yang sudah memiliki status “seumur hidup” di KTP-nya memiliki keuntungan potongan setengah harga untuk pembelian tiket. Sebagai cucu kesayangan, saya juga terkena imbasnya. Yaitu bisa masuk di semua wahana dengan paket komplit!
Ya, awalnya saya menikmati Jakarta adalah sebagai tempat menghabiskan liburan.
Waktu sudah berlalu, jauh meninggalkan tahun 1995 dan saya tidak lagi bersekolah. Sebagai mana umumnya kodrat manusia, lahir, sekolah, bekerja dan mati, saya menginjakkan kaki di fase bekerja.
Saya mengikuti arus dari apa yang dikatakan orang banyak diluar sana yang mengatakan bahwa kerja di ibukota menjanjikan pengalaman serta tidak munafik, materi yang didapat. Karena sistem hidup memang bersandar pada materi. Tidak usah kau mendebat ini kawan!
“Jakarta itu kejam, bung!” Ini benar! Bangsatnya lingkungan, jalanan dan persaingan adalah aksen yang paling ketara di daerah kekuasaan Jokowi-Ahok ini. Bayangpun, ketika kamu membuka jendela pada pagi hari di kampung, kamu akan disuguhkan dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata dan hati. Di sini, kamu akan disuguhi dengan kepenatan yang disuguhkan dari dengungan knalpot dan kepulan asap serta polusi suara yang klakson disetiap lampu merah. Responsif sekali orang-orang dijalanan ibukota, lampu hijau baru saja menyala satu detik, klakson-pun sudah meraung supaya barisan depan segera melaju! Yen ora sabar, maburo, Cuk! (Kalau tidak sabar, terbanglah!).
Pemandangan di halte bis juga menarik, ada yang berleha-leha menanti bus atau angkot menghampiri. Ada juga yang sudah kerepotan dengan berbagai gawai sambil nyerocos di ponsel untuk memberikan report pekerjaan. Ingat, halte itu “belum” kantor.
Menikmati matahari pagi untuk merangsang tubuh menghasilkan vitamin D untuk kesehatan tulang itu salah kaprah kalau di ibukota. Matahari pagi hanyalah penguat istilah “bekerja memeras keringat”. Benar, hanya keringat yang dihasilkan. Diperparah lagi dengan suhu yang dihasilkan dari kendaraan bermotor yang terlihat mesra berdempet-dempet di ruas jalan.
Namun saya menikmatinya sejauh ini. Adrenaline yang dihasilkan kurang lebih sama ketika menaiki roller coaster di Dufan.
Fase bekerja ini akan tercatat di histori perjalanan. Akan selalu terkenang. Apalagi keputusan saya untuk menginjakan kaki di Jakarta saya ambil 2 minggu setelah kakek saya meninggal. Dan kakek saya meninggal tepat 1 minggu setelah saya balik dari Jakarta. Sosok pengganti ayah dan orang yang pertama kali mengajak saya di kota tempat saya bekerja saat ini. Subjek laki-laki yang menguatkan saya dalam berbagai hal dan saya tersadar, dia meninggalkan saya di saat yang tepat, ketika sudah bisa “dilepas sendiri” dan mungkin menggantikan perannya di keluarga.
Masa selalu meninggalkan jejak. Berbagai keputusan juga selalu mengiringinya. Termasuk banting setir dari pekerjaan saya sebelum di Jakarta yang kata orang sudah menempati posisi yang nyaman. Jalan masih panjang, saya hanya meneruskan sisa perjalan dari santap malam hingga akhirnya mencapai tujuan sambil menikmati papas-salip orang dan kehidupan dan kemudian menghadapi senja kehidupan lalu mati, memenuhi kodrat.
Pingback: 1000 Hari • Andrean Saputro - andreanisme.CO
Pingback: Solo 2015: November Rain! • Andrean Saputro - andreanisme.CO
Pingback: Sesulit apa mendapat pekerjaan di Jakarta? • Andrean Saputro - andreanisme.CO