Menurutku, orang bisa saja fanatik terhadap Apple atau Microsoft, namun jika digambar dengan diagram Venn, maka irisan dari mereka adalah pengguna layanan dari Google!
Kurang lebih 6 bulan sudah aku memakai iPhone 4. Mengenal ekosistem perangkat lunak iOS besutan Apple awalnya sangat menyenangkan. Antar muka dan pengalaman pemakaian yang ditawarkan serasa sangat mewah!
Namun, aku merasa kemewahan yang ditawarkan iOS tidak lagi membuatku nyaman. Kenapa?
Oh iya, iPhone itu smartphone? Dengan batasan-batasan yang ada didalamnya, aku mengganjar iPhone dengan sebutan “ponsel pintar yang nggak pintar-pintar amat”.
Apple lock-in?
Hanya butuh 1 bulan pertama untuk menyadari bahwa saya tidak benar-benar terkunci ke dalam ekosistem Apple dan tentu saja iCloud.
- Photo Stream? Nope! Totally garbage! Layanan Dropbox and Google+ Auto Backup melakukan tugasnya dengan baik. Aku tidak perlu menggunakan iPhoto ketika ingin melihat hasil tangkapan kamera handphone-ku. Bahkan aku tak perlu pusing bila komputer atau laptop yang kupergunakan adalah bukan Macbook atau iMac.
- Safari syncing? Aku menggunakan Chrome Browser Sync. Bahkan aku tak pernah menyukai browser Safari di Macbook-ku.
- Mac OS X Mavericks to integrate iOS notifications? Notifyr malah lebih jauh lebih baik daripada aplikasi official dari Apple. Namun, Pushbullet dan Airdroid jauh lebih keren!
- iTunes and iTunes Match? Betapa ribetnya ketika aku harus membuat playlist di iTunes Macbook lalu melakukan sinkronisasi ke iPhone-ku. Kenapa tidak sesimpel ‘drag n drop’ file musik ke eksternal storage saja? Belum lagi kalau berpindah ke komputer milik orang lain, kepencet sync saja bisa berabe! Lagipula, aku sekarang sudah berhenti mendownload lagu secara ilegal. Aku menggunakan layanan Deezer dan aku bisa mendaratkan album serta lagu kesukaan tanpa harus membelinya satu per satu ke mode offline yang bisa kunikmati tanpa koneksi internet.
- iCloud Calendar, Contacts & Mail? Layanan ini sudah kuserahkan kepada Google. Dan aplikasi official Google untuk Android jauh lebih stabil daripada menjalankannya di iOS.
- Find my Phone? Aku menggunakan Lookout dan Android Device Manager.
- Notes? Google Keep jauh lebih baik! Lagi-lagi aku dipermudah dengan model komputasi awanserta kemudahan satu akses untuk bermacam-macam fitur!
- Facetime? Layanan yang tak pernah ingin kucoba. Skype dan Google Hangouts sudah lebih dari cukup.
Most services I rely on daily are owned by Google
“No other company has embedded itself this deeply into my life.”
Menurutku, orang bisa saja fanatik terhadap Apple atau Microsoft, namun jika digambar dengan diagram Venn, maka irisan dari mereka adalah pengguna layanan dari Google!
Yang membuatku rindu dan akhirnya kembali ke Android
Bentang Layar
Layar yang lebar! Aku merindukan bentang layar yang nyaman. Karena dengan model rasio layar yang “narrow” membuatku tidak nyaman ketika membaca artikel lewat RSS reader Feedly, menonton YouTube atau mengedit foto menggunakan Afterlight dan Instagram.
Aku selalu membaca artikel atau menonton video di Youtube sebelum tidur. Karena ini adalah usahaku untuk memuluskan langkah sebelum tidur, yaitu mengantuk.
Notifikasi
Berbeda dengan notifikasi iOS yang terkesan “read-only”. Aku tidak pernah menarik slide menu notifikasi di iPhone karena bagiku bentuknya terlalu memanjang karena pengelompokkan aplikasi. Aku hanya tidak bisa mengetahui secara aktual apa yang harus kubuka.
Live notification juga tak ada di iOS. Misalnya ketika mengunggah gambar ke Twitter, pada status bar akan nampak ikon yang menunjukan proses yang sedang berlangsung. Dan misal gagal, ikon di status bar akan menunjukan ikon yang menunjukan bahwa gambar gagal diunggah serta ada pilihan untuk “cancel” atau retry tanpa harus masuk kembali ke aplikasi.
Sharing
Di iOS, ketika aku harus membagi link yang kubaca dari browser ke WhatsApp tak semudah di Android. Aku harus mengopi link, keluar dari browser, membuka WhatsApp, memilih kontak atau grup yang ingin kubagi dengan link lalu paste link di text area. Shit!
Desktop Notification
Sangat tak nyaman bagiku ketika aku sudah di depan laptop lalu aku harus bolak-balik ke handphone dan laptop. Aku menggunakan AirDroid dan Pushbullet untuk menampilkan notifikasi yang muncul di Android ke Macbook-ku. Aku tidak terlalu terganggu dengan notifikasi-notifikasi yang muncul karena aku tidak harus menolehkan kepalaku dan melepas tanganku dari keyboard laptop untuk memegang dan melihat ke layar handphone.
Beberapa aplikasi Android saat ini juga sudah memberikan akses melalui aplikasi desktop atau via web browser. WhatsApp Web misalnya. Namun, fitur ini belum bisa dipakai di iOS untuk sekarang.
Back Button
Bukan Home button! Bagiku ini sangat penting untuk memperkuat “daya jelajah”.
Each app has its own interactions, design and purpose as it should. Android helps coalesce each of these siloed experiences together into something a bit more fluid. The back button allows you to navigate through your history of pages, apps and menus. Didn’t mean to do that? No worries, no cognitive load required, no need to parse how that new app implements its navigation or drawer.Just hit back!
Geek’s Corner!
Woohooo! Terminal! Yap, karena pekerjaanku, fitur ini cukup membantu! Untuk sekedar mengecek load server atau mengintip folder yang ada di server lewat SSH.
R00T!
Aku selalu melakukan root dengan alasan agar bisa melakukan kustomisasi sesukaku. Salah satu kelemahan vendor ponsel Android adalah menyertakan cukup banyak aplikasi bawaan yang prakteknya tidak terlalu berguna. Bloatware. Aku menghapus aplikasi bawaan tersebut untuk mendongkrak performa dan efisiensi penggunaan daya.
Xposed Framework menawarkan macam-macam kustomisasi dan utilitas lewat 100 lebih modulyang dikembangkan oleh komunitas di forum XDA Developers. Dengan ketersediaan yang banyak jumlah yang banyak, aku lebih leluasa untuk melakukan modifikasi.
Semacam menambal, aku mempunyai banyak kelemahan Android dengan aplikasi yang tersedia. Aku mengganti lock screen bawaan dengan SnapLock, melakukan auto hibernate aplikasi yang idle dengan Greenify Donation Package, mempartisi sebagian kapasitas memory card untuk SWAP dengan ROEHSOFT RAM Expander (SWAP), mengganti TouchWiz bawaan Samsung dengan Nova Launcher Prime, menghapus bloatware dengan Root Unisntaller Pro, menginstal terminal denganTerminal Emulator, mengganti DNS dengan DNS Changer. Karena Samsung Galaxy Grand 2 tidak mempunyai LED indicator (Blackberry best feature!), aku menginstall Screen Notification untuk menghidupkan layar ketika ada notifikasi serta mengaktifkan notification reminder setiap 10 menit sekali.
Lengkap, kan?
Kira-kira aku akan merindukan apa dari iPhone?
Kamera!
Aku membandingkan kamera iPhone yang hanya 5 megapixel dengan kamera Samsung Galaxy Grand 2 yang berkekuatan 8 megapixel. Meskipun megapixel-nya kalah, namun kualitas gambar dari iPhone tetap masih yang terbaik.
So, bagaimana dengan Samsung Galaxy Grand 2?
Mengusung processor Qualcomm MSM8226 Snapdragon 400 Quad Core 1.2 GHz Cortex-A7, RAM 1,5 GB serta GPU Adreno 305, Grand 2 sudah cukup untuk handphone Android melakukan beberapa task sekaligus tanpa lag. Namun spesifikasi ini tanggung sebenarnya, kalau saja RAM dibulatin di angka 2 GB maka Grand 2 akan lebih ciamik.
Layar TFT capacitive touchscreen dengan resolusi 720 x 1280 pixels (~280 ppi pixel density) cukup nyaman di mata untuk bentang layar 5.25 inch (~68.7% screen-to-body ratio). Namun akan lebih ciamik lagi jika dibenamkan layar model Super AMOLED yang pixel density-nya bisa sampai ~441 ppi!
Oke! Aku biasanya melihat sekilas spesifikasi ponsel Android dari faktor-faktor di atas. Lainnya biasanya tidak terlalu berpengaruh. Lebih lengkapnya bisa kunjungi laman ini (GSM ARENA).
Dengan embel-embel “nanggung”, Samsung Galaxy Grand 2 ini kukategorikan sebagai ponsel Android kelas mid-end. Ya, sesuai dengan harganya, sih.
Kok masih pakai iPhone?
Ingat irisan yang tadi kutulis di atas? Aku tidak mau terjebak untuk fanatik terhadap satu produk saja. Toh, baik iPhone atau Android menurutku ada kekurangan dan kelebihannya, hanya saja aku tidak terlalu nyaman dengan “kemewahan” dari iPhone yang membuatku seperti “terkungkung” di ekosistem iOS yang sangat tidak fleksibel.
Saat ini aku hanya memakai iPhone untuk mengambil gambar, melakukan panggilan telepon dan sms. Kelebihan dimensi iPhone adalah ‘handy’, memungkinkanku untuk mengoperasikannya dengan 1 tangan. iPhone juga menambah perangkat yang kujadikan alarm pagiku!
Selamat hari Rabu! Oh iya, apa arti fanatik buatmu? 🙂
Pingback: Hape Cina • Andrean Saputro - andreanisme.CO
Pingback: Rejeki Awal Tahun: Galaxy Note 5! - (Bukan) Review