… Jumlah rupiah yang kudapati dari 1 kontrak tulisan berbayar di blog lebih besar dari jumlah rupiah yang aku dapat dari mengerjakan sebuah website pada waktu itu! Tapi aku tetap menutupnyaAku
Aku menikmati sebatang rokok di balkon apartemen sambil menikmati teh hangat. Terlihat bodi dan kaca mobil yang terparkir di bawah diselimuti titik-titik air. Langit Jakarta nampaknya sudah loyal mencurahkan air hujan sejak 3 hari belakangan. “Ahh… ini sudah Januari yang kata orang adalah kependekan dari hujan sehari-hari…”
Sore itu aku menikmati dua batang rokok dan segelas teh hangat yang kutandaskan ketika bara rokok kedua sudah sangat dekat dengan filter dimana bibirku menghisapnya. Lalu aku masuk kembali ke kamar untuk merampungkan tampilan baru blog ini yang kurilis 5 hari yang lalu.
Saat aku sudah asyik dengan kode-kode di atas text editor yang warna teksnya warna-warni itu tiba-tiba handphoneku menampilkan pesan WhatsApp dari Harjo…
“Buos ,,, aku di lobby apartemenmu. Kamu turun, jemput aku! Aku tadi sudah pencet-pencet lift tapi ga bisa-bisa!”
Harjo adalah temanku dari kampung, satu kabupaten tapi beda kecamatan. Kalian pasti sudah bisa menebak wajahnya dari namanya. Mukanya sangat kampung, bahasa Indonesia-nya sangat medhok dan kulitnya hitam terbakar matahari.
Aku menemuinya di lobby, “Ada apa, Jo?! Kok, tiba-tiba kamu kesini?” tanyaku sambil melihat bajunya yang sedikit basah karena terkena air hujan.
“Anu mas bos, aku tadi baru aja main dari Depok lalu aku turun di stasiun situ (Duren Kalibata) dan mau mampir.”
“ohhh”
“Lift-nya aku pencet-pencet kok ga mau to, bosss? Pintunya nutup tapi ga bisa naik! Meh takon satpam tapi kok isin…” tanyanya dengan raut muka jengkel.
“Oalah, Jo… Kalau kamu mau naik harus pakai kartu akses. Gesek kartu akses dulu baru kamu pencet nomer lantai yang kamu tuju. Kalau kamu ga punya kartu ya ga bisa naik.”
“Walah… gitu to bos? Seingatku dulu belum begitu…”
Aku sengaja tidak menjawabnya dan terus berjalan di depannya dari lift ke pintu unitku.
“Masuk, Jo.” aku mempersilakan Harjo masuk.
“Nggih mas bos, kulonuwun…” jawab Harjo dengan matanya seakan sedang memindai bagian dalam unitku.
Aku tahu, dia pasti akan menanyakan banyak hal dari tiap bagian di unitku. Karena aku tahu betul tabiatnya dan aku memang bukan petugas hotel yang harus memperkenalkan bagian per bagian ruangan maka aku langsung menyuruhnya untuk ke kamar mandi. “Cuci kaki, Jo! Kakimu kotor sekali terkena cipratan air hujan. Kecuali kamu mau kakimu ditumbuhi berbagai macam jamur yang menjijikan!”
Aku lalu membawa laptopku ke ruang tengah dan kembali mengerjakan layout blog yang sudah 90% jadi. Harjo menepuk pundakku, “Bos… boss, hari minggu kok masih kerja. Mbok ya nyantai apa cuci mata ke mall bawah gitu lho…”
“Nggak, Jo, aku lagi mengerjakan layout blog”
“Ealah, pesenan ya mas bosss? div … klass … trianjel mines heder” tanya Harjo sambil mendekatkan matanya ke monitor dan membaca baris kodeku.
“Kowe mudeng po, Jo? (memang kamu paham? -jw) Nggak, Jo, aku lagi mengerjakan layout untuk blog-ku sendiri”
“Wahahahahah! Masih usum (jaman -jw) apa blog-blog-an? Mas… mas… Dua ribu lima belas masih mainan blog!” Harjo menertawakan.
“Jo, usum atau tidaknya aku nggak peduli, tapi ini soal tempat dimana aku mau menulis atau mencatat apa yang aku alami dan rasakan saja. Dan karena aku lagi pengen mengganti tampilan blogku. Aku juga sedang penasaran untuk mencoba mesin blog baru.” jelasku padanya.
“Woh! Anyar meneh? (baru lagi -jw) Tapi jangan dijelaskan mas. Aku pasti tidak paham apa mesin baru itu. hahhahaha. Tapi mas, katamu dulu ada yang ngeblog lalu dibayar ya? Maksudku, dia nulis di blog terus dapaet bayaran. Dan katamu juga, blogmu pernah dibayar juga to mas? Aku mau mas nek dapet bayaran gitu, itung-itung buat jajan di mall, mas!”
“Banyak tanya kamu tu, Jo! Gini, bahwa blog yang dibayar dari penempatan iklan dan dari tulisannya itu memang ada. Tapi aku ga tahu ya kalau sekarang masih ada atau tidak. Yang pasti, blog yang pernah menghasilkan uang untukku itu sudah aku tutup dan domainnya sekarang sudah dimiliki orang lain. Lagian mulutmu sekarang kok tak pernah luput dari mall, mall dan mall, to, Jo?”
Aku yang sudah kenal Harjo dari SMA ini sebenarnya sudah tahu kalau dia sedang memancingku lewat pertanyaan-pertanyaan sok lugunya itu.
“Mas??!! Ditutup???! Kok pintermen to mas? Wong menghasilkan duit kok malah ditutup. Mbok dikasihke aku wae, ta openane (aku pelihara -jw). Nek boleh tau mas, bayarannya berapa to? Terus hitungannya piye?”
“Aku nggak puas, Jo …” jawabku singkat.
“We lha! Kurang akeh, po? (apa kurang banyak? -jw) Aku penasaran lho mas soal duitnya! Berapa mas, berapaaaaaaaa?????!!!!!” Kali ini Harjo menatapku dengan tajam.
“Oke, Jo! Jumlah rupiah yang kudapati dari 1 kontrak tulisan berbayar di blog lebih besar dari jumlah rupiah yang aku dapat dari mengerjakan sebuah website pada waktu itu! Tapi aku tetap menutupnya.” tukasku.
“Gitu kok ga puas, to mas? Semakin lama aku kenal sama kamu, sebenernya aku jengkel! Pola pikirmu kadang aneh tenan, kok, mas! Apalagi nek menurutku tingkat kesulitan bikin website sama nulis kan mesti lebih gampang bikin tulisan to?????” ujar Harjo dengan geram.
“Itu yang bikin aku tidak puas! Aku mendapat uang dengan mudah tentu aku syukuri. Tapi cara dan dampaknya yang mbikin aku tidak puas dengan apa yang aku kerjakan dan dapatkan, Jo! Kamu pasti tidak paham to?” tanyaku.
“Ora!! (tidak! -jw)” geram Harjo berlipat kepadaku.
“Gini… Peduli setan orang akan menilaiku sok suci, munafik atau apapun. Tapi aku setelah mendapat uang dari pemberi kontrak, aku berpikir bahwa aku tidak pantas menerima uang sebesar itu. Alasannya simple, blog-ku waktu itu sepi pengunjung walaupun ada pembaca setianya yang selalu menunggu tulisan baruku. Karena menurut logikaku, pemberi kontrak akan menilai dari banyak atau sedikitnya pengunjung atau visitor blog yang akan diberinya job untuk ngiklan. Aku juga tidak kenal secara pribadi dengan si pemberi kontrak tersebut, hanya tahu saja. Itu yang pertama, Jo”
“Terus???????????” Harjo mengejar.
“Kedua, aku memikirkan pembaca setia blogku yang meskipun jumlahnya bisa dihitung dengan jumlah jari. Mereka aku suguhi dengan tulisan pengalaman yang aku dapat hanya dari “Press Release” produk! Tulisan saja. Biar kamu tidak bingung, aku bercerita kepadamu tentang produk yang belum pernah aku pegang bahkan aku pakai! Dan jahatnya, aku membujuk mereka untuk mencoba apa yang belum aku coba!”
“Terussss????????”
Baru kali ini aku melihat wajah Harjo begitu serius.
“Ketiga, aku kena batunya, Jo! Aku mendapat pengalaman super buruk dengan jasa yang ditawarkan oleh penyedia layanan yang dulu pernah aku “jilat” di blogku sendiri! Ini yang membuat keputusanku tambah bulat untuk tidak lagi memperpanjang kontrak penulisan di blog. Pun dengan sebulat hati aku juga tidak memperpanjang kontrak domain dan hosting.”
“I see … “
“Jo, sejak kapan kamu bisa ngomong begitu. Tahu dari mana kamu?”, tanyaku terkaget!
“Aku nguping kalo bos-bos lagi meeting di kantor mas! Aku keren to? Pas banget to? huahahahaha. Harjo!” Harjo yang awalnya mukanya tegang dan serius tiba-tiba menjadi berbinar bangga.
Aku tidak menanggapi jumawa Harjo. Langsung kubeberkan alasan ketiga.
“Ketiga, Jo! Aku ada dipersimpangan. Pada saat itu aku sedang getol-getolnya mendalami web development. Aku sudah mengerjakan beberapa proyek pembuatan web. Aku tidak bisa setengah-setengah! Dan mungkin teman ngeblogku tahu, bahwa setelah blogku kututup, aku hiatus alias berhenti sementara dari aktivitas ngeblog! Aku berkubang di bidang web development dan aku mulai secara rutin mengerjakan pesanan dari klien. Di sini aku sudah tidak kuasa untuk meluangkan waktu untuk menulis di blog. Itu Jo yang jadi alasanku.”
Harjo tak berkata-kata kali ini. Dia hanya melihat ke kedua bola mataku.
Obrolan terhenti dan suara adzan memecah keheningan. Langit yang sudah sendu sepanjang hari makin terlihat temaram.
Harjo lalu berpamitan pulang setelah adzan berhenti. Dia pamit dengan nada yang tidak semenggebu waktu ia datang. Aku mengantarnya sampai depan pintu lift lalu aku naik lagi ke unit.
Setelahnya aku bersyukur, bahwa hidup ini memang sejatinya harus memilih lalu menjalaninya dengan segenap hati. Dan berapapun banyak uang yang dihasilkan dia tak pernah bisa membeli satu hal. Hal yang diberikan oleh Tuhan untuk makhluk yang paling dimuliakanNya; manusia. Hal itu adalah nurani. 🙂